Sultengmedia.id- Pungutan liar (pungli) terhadap sopir pete-pete di Jalan Perintis Kemerdekaan, Makassar, terus terjadi.
Seolah tak tersentuh hukum, aksi ini terus berjalan meski telah dikeluhkan para sopir.
Ironisnya, para preman yang melakukan pungli justru berdalih bahwa mereka hanya menjalankan atas perintah Ketua Organda Makassar.
Hal ini terungkap saat salah satu preman mengaku bahwa pungutan tersebut bukan atas inisiatif mereka sendiri.
“Saya minta maaf sebelumnya. Terkait pungutan di pete-pete, itu hanya persetujuan saya dan teman. Tidak pernah kami paksa sopir bayar. Masalah izin operasional ada dari Ketua Organda Kota Makassar,” ujar seorang preman kepada media ini.
Namun, kesaksian tersebut bertolak belakang dengan kenyataan di lapangan. Para sopir yang menolak membayar pungli justru mendapat ancaman dan intimidasi.
“Kalau kau tidak bayar, panggil bosmu dan suruh dia datang ke sini. Mobilmu parkir dulu di sini!” bentak seorang preman sembari menepuk kap mobil seorang sopir yang berusaha menghindari setoran ilegal.
Modus pungli ini pun berjalan sistematis. Setiap hari, sekitar 300 angkot dipalak Rp5.000 per unit—tanpa kuitansi dan tanpa aturan yang jelas.
Jika dihitung, uang haram ini mencapai Rp45 juta per bulan! Jumlah yang fantastis, namun bukan untuk kesejahteraan sopir, melainkan masuk ke kantong pribadi para pemalak.
Tak tahan dengan perlakuan ini, beberapa sopir akhirnya melapor ke polisi.
Laporan resmi telah dibuat dengan Nomor STPL/229/2024/Res 1.8/Reskrim dan Laporan Informasi LI/229/VII/Res.1.24/2024/Reskrim pada 22 Agustus 2024. Namun, hingga kini, tak ada tindakan tegas dari kepolisian.
Lebih mencengangkan, salah satu preman mengklaim pungutan ini sah karena telah mendapat ‘persetujuan’ dari para sopir melalui tanda tangan.
“Ada seratus sopir yang tanda tangan setuju masalah ini, Pak,” ujarnya dengan penuh percaya diri.
Namun, investigasi di lapangan menunjukkan fakta berbeda. Preman-preman ini tak memiliki izin operasional angkutan, bahkan kartu identitas yang mereka tunjukkan bukan ID resmi, melainkan sekadar kartu peserta Muscabclub DPC Organda Makassar berinisial AI.
Lebih parahnya lagi, salah satu preman secara terang-terangan mengakui bahwa seluruh setoran haram tersebut masuk ke kantong pribadinya.
“Uang ini untuk saya, tidak ada yang lain,” katanya tanpa rasa bersalah.
Yang lebih mengkhawatirkan, praktik pungli ini diduga melibatkan oknum aparat yang turut menikmati setoran ilegal tersebut.
Hingga berita ini diturunkan, pihak kepolisian masih bungkam. Ketua Organda Kota Makassar? Tak ada pernyataan, tak ada tanggapan.
Lantas, siapa sebenarnya yang melindungi para preman ini? Mengapa mereka masih bebas memalak di jalanan tanpa tersentuh hukum? Publik menanti jawaban!
Editor : Darwis
Follo Berita Sultengmedia.id di news.google.com